Rabu, 02 Februari 2011

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEREDARAN OBAT KERAS PADA TOKO OBAT TANPA IJIN

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEREDARAN OBAT KERAS PADA TOKO OBAT TANPA IJIN DI BREBES

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pedagang eceran obat pada khususnya, berlandaskan pada Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK. 00. 05. 3. 1950 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia dan ketentuan mengenai legalisasi dalam hal izin edar, penandaan dan informasi atas sediaan farmasi dan alat kesehatan serta pemberian kewenangan pada pemerintah dalam perlindungan terhadap masyarakat dari sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemanfaatan diatur pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Penyelesaian tindak pidana peredaran obat keras pada toko obat tanpa izin ini menggunakan acara pemeriksaan biasa. Hal ini berdasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana mengedarkan obat keras pada toko obat tanpa izin ini dinilai membahayakan masyarakat dan termasuk sebagai tindak pidana kejahatan berat. Selain berlandaskan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk penjatuhan pidananya yang menganut asas algemene strafminima dan asas algemene strafmaxima maka Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan pun sebagai landasan bagi hakim untuk menentukan penjatuhan pemidanaan bagi terdakwa.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat kami bahas didalam rangkuman ini antara lain :
1. Bagimana dukungan hukum terhadap peredaran obat keras pada toko obat tanpa izin di Brebes.
2. Kepercayaan masyarakat terhadap Obat Herbal yang cenderung masyarakat mengkonsumsi
3. Sistem pengawasan Badan POM terhadap peredaran obat keras pada toko obat tanpa izin..

C. Tujuan Makalah
Tujuan dari pada penulisan makalah ini antara lain agar kita dapat :
1. Untuk mengetahui sejauh mana dukungan hukum yang diperlukan didalam Penegakan Hukum terhadap toko obat tanpa ijin.
2. Bagimana kepercayaan masyarakat terhadap obat herbal yang cenderung masyarakat mengkonsumsi.
3. Untuk mengetahui pengawasan dari Badan POM terhadap peredaran obat keras pada toko obat tanpa izin.








BAB II
PEMBAHASAN

A. Dukungan hukum terhadap peredaran obat keras pada toko obat tanpa ijin.

Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa tata cara pelaksanaan izin edar yang harus dilaksanakan oleh alat distribusi pada umumnya dan pedagang eceran obat pada khususnya, berlandaskan pada Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK. 00. 05. 3. 1950 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia dan ketentuan mengenai legalisasi dalam hal izin edar, penandaan dan informasi atas sediaan farmasi dan alat kesehatan serta pemberian kewenangan pada pemerintah dalam perlindungan terhadap masyarakat dari sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemanfaatan diatur pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Penyelesaian tindak pidana peredaran obat keras pada toko obat tanpa izin ini menggunakan acara pemeriksaan biasa. Hal ini berdasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana mengedarkan obat keras pada toko obat tanpa izin ini dinilai membahayakan masyarakat dan termasuk sebagai tindak pidana kejahatan berat. Selain berlandaskan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk penjatuhan pidananya yang menganut asas algemene strafminima dan asas algemene strafmaxima maka Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan pun sebagai landasan bagi hakim untuk menentukan penjatuhan pemidanaan bagi terdakwa.
Penelitian ini adalah pelayanan di bidakesehatan yang sesuai dengan aturan dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku akan membatasi gerak yang cenderung ilegal dalam mendistribusikan obat. Tata cara pelaksanaan izin edar yang berlandaskan pada Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK. 00. 05. 3. 1950 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia dan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menjadi dasar aturan yang mengatur tentang pelayanan di bidang kesehatan. Perlunya izin mendistribusikan obat keras dari Badan Pengawas Obat Makanan dan pemberian izin apotik oleh Menteri Kksehatan (yang melimpahkan wkewenang kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota) untuk pendirian apotik sebab obat keras tertentu hanya dapat dilakukan oleh apotik bukan pada toko obat. Sedangkan implikasi praktisnya adalah dari hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai rujukan bagi Pengadilan Neana pungsi kontrol Badan POM ( Badan Pengawas Obat dan Makanan ) dengan banyaknya beredar obat keras di toko-toko obat.


B. Kepercayaan masyarakat terhadap Obat Herbal yang cenderung masyarakat mengkonsumsi.
Masyarakat banyak yang mengkonsumsi obat herbal dengan asumsi bahwa obat herbal sangat aman karena terbuat dari bahan alami & tanpa efek samping. Apalagi didukung dengan harganya yang relative terjangkau dan keengganan untuk berkonsultasi ke dokter apabila mengalami keluhan penyakit, sehingga konsumsi obat herbal kian marak. Akan tetapi dengan yang terjadi belakangan ini menimbulkan keprihatinan karena banyak obat herbal termasuk ‘obat kuat herbal’ yang ditarik dari dari peredaran oleh Badan POM karena terbukti mengandung bahan aktif kimia obat yang hanya boleh digunakan dengan resep dan pengawasan dokter.
Obat herbal, obat tradisional sendiri adalah suatu bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Jadi jelas bahwa didalam kandungan obat herbal/tradisional tidak boleh terdapat bahan aktif kimia obat. Para produsen obat herbal pun saat mendaftarkan produknya di Badan POM untuk mendapatkan nomor registrasi sudah mengetahui tentang aturan tersebut. Permasalahan bahwa di kemudian hari ternyata produk tersebut mengandung bahan aktif kimia obat merupakan suatu hal yang perlu kita cermati bersama. Apalagi bila ternyata produk-produk yang sudah ditarik tersebut sebagian besar telah memiliki ijin edar dari Badan POM.
Badan POM sendiri selaku pemberi ijin registrasi untuk setiap produk obat, makanan & kosmetika yang beredar di Indonesia menyatakan bahwa produk-produk tersebut saat diperiksa untuk mendapatkan ijin edar telah memenuhi persyaratan yang ada, berarti tidak ada hal yang melanggar peraturan misalnya dari segi komposisi. Tetapi ternyata setelah mendapatkan ijin edar & beredar di masyarakat kemudian di lakukan uji sampling secara acak ternyata hasil yang didapat sangat berbeda. Hal ini bisa berarti terjadi indikasi kenakalan yang dilakukan oleh pihak produsen dalam hal produk yang di lakukan uji coba untuk mendapat ijin edar dengan produk yang dijual di masyarakat memiliki komposisi yang berbeda.
Mengenai maraknya jamu ‘obat kuat’ yang mengandung bahan kimia sildenafil sitrat atau tadalafil beredar saat ini, Prof. Wimpie mengemukakan bahwa setelah tahun 1999 di Indonesia banyak beredar produk jamu yang digunakan untuk ‘obat kuat’. Kenapa tahun 1999 ? ternyata karena pada tahun 1999 obat erektogenik yang mengandung sildenafil sitrat beredar secara resmi di Indonesia. Sejak itu semakin banyak iklan ‘obat kuat’ untuk meningkatkan stamina pria beredar di media massa dengan mengatas namakan obat herbal atau tradisional. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa mitos jamu/obat herbal yang berkhasiat sebagai ‘obat kuat’ telah dimanfaatkan oleh para produsen nakal untuk mencampur produknya dengan bahan sildenafil sitrat.Sildenafil sitrat merupakan salah satu bahan erektogenik (obat yang dapat membuat ereksi menjadi baik) yang diakui secara internasional berdasarkan penelitian secara ekstensif dan evidence based medicine. Sildenafil sitrat sendiri aman digunakan untuk terapi disfungsi ereksi sejauh digunakan pada dosis yang dianjurkan dan dibawah pengawasan dokter.
Penggunaan sildenafil yang dikombinasi dengan obat herbal / obat lain tidak dapat dipertanggungjawabkan keamanannya karena sejauh ini belum ada data keamanan yang mendukung hal tersebut.Edukasi untuk memberikan pemahaman terhadap konsumsi obat secara benar perlu dilakukan oleh semua pihak seperti oleh pemerintah dalam hal ini Badan POM, komunitas akademis, pihak medis juga farmasi sehingga masyarakat selaku konsumen memiliki pemahaman yang baik terhadap produk yang digunakan. Dengan adanya peningkatan pengetahuan tentang kualitas produk dan cara penggunaan yang rasional maka diharapkan masyarakat dapat melakukan pengawasan sendiri. Karena pada akhirnya masyarakat lah yang akan mengambil keputusan untuk membeli dan menggunakan suatu produk.Berikut informasi mengenai penandaan obat :
Berikut informasi mengenai penandaan obat :
1. Obat Bebas
Obat yang boleh digunakan tanpa resep dokter, tersedia di apotik & toko obat, terdiri atas :
o Obat Bebas
o Obat Bebas Terbatas
Obat bebas diberikan tanda lingkaran hijau
sedangkan obat bebas terbatas diberi tanda lingkaran biru
2. Obat Keras
Yaitu obat yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter dan hanya boleh dijual di apotik. Obat keras memiliki tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K didalamnya
3. Psikotropika & Narkotika
Obat golongan ini sama dengan narkoba dapat menimbulkan ketagihan.Obat jenis ini mulai dari pembuatannya sampai pemakaiannya diawasi dengan ketat oleh pemerintah dan hanya boleh diserahkan oleh apotik atas resep dokter. Tiap bulan apotik wajib melaporkan pembelian dan pemakaiannya pada pemerintah (BPOM).
C. Sistem pengawasan Badan POM terhadap peredaran obat keras pada toko obat tanpa izin.
Berbagai kasus terkait pelanggaran terhadap peredaran obat dan makanan di negeri ini cukup marak. Perhatikanlah heboh kasus formalin, kisruh obat antinyamuk, minuman isotonik, kosmetika palsu, dan yang santer diberitakan tentang peredaran obat (juga jamu) serta beras berklorin, dan terakhir bulan agustus 2008 dari 4500 jajanan sekolah, setengahnya tercemar bahan teksil/racun dan berbahaya untuk keesehatan.Berbagai kasus tersebut mengindikasikan bahwa ada yang salah dengan sistem pengawasan obat dan makanan di negeri ini.
Konsumsi masyarakat terhadap produk obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan obat asli Indonesia cenderung meningkat, seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat termasuk pola konsumsinya. Gencarnya iklan dan promosi turut mendorong konsumen untuk mengonsumsi produk-produk tersebut. Sayangnya, konsumen kebanyakan tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang produk-produk yang dikonsumsinya, apakah sudah tepat, benar, dan aman.
Oleh karenanya, Indonesia memerlukan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan yang efektif sehingga mampu mendeteksi, mencegah, dan mengawasi produk-produk tersebut guna melindungi keamanan, keselamatan, dan kesehatan konsumennya. Selama ini, kita telah memiliki Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM-dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 166 Tahun 2000 dan Nomor 103 Tahun 2001), yang bertugas di bidang pengawasan obat dan makanan, dengan kewenangannya antara lain pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi. Tapi mengapa berbagai kasus penyimpangan terus saja terjadi? Lemahnya pengawasan tampaknya menjadi faktor utama. Ditilik dari sejarahnya, BPOM yang tadinya di bawah Depkes ditarik keluar dan berdiri sendiri sebagai lembaga yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Ini adalah dalam rangka memfokuskan kegiatan pengawasan makanan dan obat di Indonesia, mengingat kegiatan pengawasan tersebut memiliki aspek permasalahan yang berdimensi luas dan kompleks, semenjak awal proses suatu produk hingga produk tersebut beredar di tengah masyarakat. Fungsi pengawasan yang cakupannya seperti itu dinilai kurang fokus jika ditangani sebuah Direktorat di bawah Departemen. Malah Kurang Fokus dalam perkembangannya, perubahan itu telah menjadikan lembaga tersebut malah kurang fokus dengan fungsi utamanya di bidang pengawasan obat dan makanan, sehingga masyarakat banyak dirugikan. Merebaknya berbagai kasus pelanggaran selama ini adalah contoh nyata betapa lemah pengawasan di ranah tersebut. Kondisi ini terjadi karena pada perkembangannya BPOM lebih banyak menghabiskan energi untuk membuat regulasi baru di bidang obat dan makanan yang seharusnya menjadi wewenang Depkes. Selama beberapa tahun terakhir, pekerjaan BPOM banyak tumpang tindih. karena selain melakukan pengawasan, ia juga memberikan ijin registrasi industri dan menyusun regulasi. Menjadi regulator atau pembuat peraturan perundang-undangan seharusnya tidak menjadi wewenangnya. Beberapa produk perundangan yang dibuat BPOM adalah UU Pembuatan Surat Persetujuan Impor (SPI) Narkotika dan Psikotropika serta prekusornya (bahan baku), padahal berdasarnya UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika merupakan wewenang Menteri Kesehatan. Tak hanya itu, Kepala BPOM juga membuat Surat Keputusan No.HK0005514547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan, padahal Depkes sudah mempunyai peraturan tentang itu yang tertuang dalam PerMenkes No. 208/Menkes/Per/IV/1985 tentang Pemanis Buatan dan PerMenkes No. 722/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Tak heran jika kemudian tugas-tugas pengawasan yang menjadi tugas utama BPOM menjadi kedodoran. Selain lemahnya pengawasan, maraknya berbagai pelanggaran peredaran obat dan makanan juga disumbang oleh faktor minimnya upaya tindak lanjut terhadap kasus-kasus yang terungkap. Meski sudah banyak hasil temuan yang dilakukan BPOM selama ini, namun yang diproses sampai ke pengadilan sangat sedikit. Dari laporan BPOM tentang temuan kasus pengawasan terhadap obat dan makanan selama 2006, dari 699 temuan kasus yang terungkap, ternyata hanya 11 kasus yang diputuskan pengadilan. Ini artinya hanya 6 persen yang betul-betul ditangani pengadilan. Belum lagi kasus-kasus yang tak terungkap yang jumlahnya mungkin ratusan.Ringannya sanksi yang diberikan kepada pelaku pun turut melengkapi situasi maraknya pelanggaran. Betapa tidak, sanksi yang selama ini dikenakan baru sebatas sanksi administratif, wajib lapor, atau denda yang rendah, sedangkan sanksi kurungan masih sangat sedikit.
Fungsi Utamanya guna meningkatkan fungsi pengawasan, BPOM harus kembali kepada fungsi utamanya. BPOM harus fokus pada fungsi pengawasan dan jangan disibukkan oleh fungsi pemberian ijin registrasi maupun penyusunan regulasi. Dua fungsi yang terakhir biarlah Depkes yang menangani. Langkah ini perlu ditempuh, selain agar tak membuat fungsi utamanya di bidang pengawasan menjadi kedodoran, sebenarnya apa-apa yang dikerjakan BPOM selama ini (di luar fungsi pengawasan) menjadi tidak efektif karena terjadi tumpang tindih dengan apa-apa yang dikerjakan Depkes. Jika perlu pemerintah bisa membuat payung hukum baru (berupa undang-undang misalnya) untuk mempertegas fungsi BPOM di bidang pengawasan seraya memindahkan dua pekerjaan (memberi ijin registrasi dan menyusun regulasi) ke pangkuan Depkes. Tentu saja ada beberapa kerjasama koordinasi yang sangat dimungkinkan bagi BPOM dan Depkes dalam menangani berbagai persoalan yang muncul di ranah obat dan makanan ini.Dengan demikian, sumber daya yang ada di BPOM dapat betul-betul melakukan fungsi pengawasan, tak hanya di level distribusi namun juga mulai dari proses produksi. Melalui model segitiga koordinasi BPOM-Depkes-Aparat penegak Hukum, maka diharapkan dapat tercapai sinergisme pengawasan yang handal. Dengan berpedoman pada regulasi yang disusun Depkes, BPOM bekerja menyisir daerah-daerah di Tanah Air untuk memastikan tidak adanya pelanggaran dalam produk-produk obat dan makanan. Dan jika dalam penyisiran ditemukan kasus pelanggaran, proseshukum diserahkan ke pihak penegak hukum untuk mendapatkan sanksi yang setimpal.
Sekaligus menegaskan ulang bahwa penegakan hukum adalah hal tak kalah menentukan selain handalnya fungsi pengawasan. Jika penegakan hukum berjalan baik, maka tumpukan kasus pelanggaran peredaran obat dan makanan sebagaimana diungkap BPOM dalam Laporan Tahunan 2006 tersebut tak akan terjadi. Ini berarti ketika ditemukan 100 kasus pelanggaran maka akan ada 100 putusan pengadilan dengan sanksi setimpal. Jika mekanisme ini berjalan, kita berharap kasus-kasus pelanggaran seperti pemalsuan ataupun penggunaan zat berbahaya dalam produk obat dan makanan tak akan terjadi. Para pelaku pun akan berpikir seribu kali untuk melakukan tindak pelanggaran lantaran beratnya sanksi hukum terhadap













BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana mengedarkan obat keras pada toko obat tanpa izin ini dinilai membahayakan masyarakat dan termasuk sebagai tindak pidana kejahatan berat. Selain berlandaskan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk penjatuhan pidananya yang menganut asas algemene strafminima dan asas algemene strafmaxima maka Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan pun sebagai landasan bagi hakim untuk menentukan penjatuhan pemidanaan bagi terdakwa.
Masyarakat banyak yang mengkonsumsi obat herbal dengan asumsi bahwa obat herbal sangat aman karena terbuat dari bahan alami & tanpa efek samping. Apalagi didukung dengan harganya yang relative terjangkau dan keengganan untuk berkonsultasi ke dokter apabila mengalami keluhan penyakit, sehingga konsumsi obat herbal kian marak. Akan tetapi dengan yang terjadi belakangan ini menimbulkan keprihatinan karena banyak obat herbal termasuk ‘obat kuat herbal’ yang ditarik dari dari peredaran oleh Badan POM
Guna meningkatkan fungsi pengawasan, BPOM harus kembali kepada fungsi utamanya. BPOM harus fokus pada fungsi pengawasan dan jangan disibukkan oleh fungsi pemberian ijin registrasi maupun penyusunan regulasi

B. SARAN
Dengan semaraknya obat keras yang beredar di toko obat tanpa ijin dan beredarnya obat-obat herbal dimayarakat yang dapat membahayakan, maka penulis memberikan saran :
1. Memberikan pengawasan dan BPOM harus kembali kepada fungsi utamanya. BPOM harus fokus pada fungsi pengawasan dan jangan disibukkan oleh fungsi pemberian ijin registrasi saja.
2. Peran pemerintah daerah Eksekutif dan Legislatif bilamana ditemukan tindak pidana peredaran toko obat tanpa ijin maka harus kerja sama dengan Badan POM menindaknya.
3. Peran media masa, lembaga pers hendaklah memberikan informasi atau memberikan opini publik supaya masyarakat mengerti hukum dan akibat pidana terhadap pendirian toko obat tanpa ijin dan bahaya mengonsumsi obat-obat keras dan obat herbal tanpa ijin dan resep dokter dan lesensi apoteker,









DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar